TEMPAT BERSEJARAH DI KOTA PALEMBANG
BENTENG KUTO BESAK
Lokasi : Pinggiran Ilir Sungai Musi


Benteng ini dibangun selama 17 tahun
(1780-1797 M). Sebagaimana umumnya bangunan benteng pada masa lalu,
benteng yang kemudian dikenal dengan nama Benteng Kuto Besak (BKB) ini
dibangun di atas pulau. Lahan tempatnya berdiri dikelilingi sungai.
Yaitu, Sungai Kapuran (kini, alirannya merupakan bagian Jl. Merdeka,
setelah ditimbun Pemerintahan Belanda sekitar tahun 1930-an) di bagian
utara; Sungai Musi di bagian utara; Sungai Sekanak di bagian barat; dan
Sungai Tengkuruk di bagian timur. Seperti halnya Sungai Kapuran, Sungai
Tengkuruk juga ditimbun Belanda pada awal 1930-an dan dijadikan sebagai
jalan. Lokasi jalan, yang kemudian dikenal sebagai Jl. Tengkuruk ini
(kini menjadi landasan Jembatan Ampera dan sebagian lagi menjadi Jl.
Jenderal Sudirman (sebelumnya, Jl. Talang Jawa), ini sempat berfungsi
sebagai boulevard. Pada masa Palembang berbentuk Gementee (Kotapraja),
Boulevard Tengkuruk ini dijadikan sebagai bagian dari rute pawai atau
karnaval even tertentu Kerajaan Belanda, antara lain hari ulang tahun
Ratu Wilhelmina. BKB, yang mulai difungsikan secara resmi pada Senin, 23
Sya?ban 1211 H (21 Februari 1797 M), ini dibangun oleh Sultan Muhammad
Bahauddin (1776-1803 M). Pembangunannya dimu-lai pada Ahad, 15 Jumadil
Awal 1193 H (1779 M). Pembangunan benteng ter-masuk keraton baru ini
merupakan kelanjutan dari gagasan Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo
atau SMB I (1724-1758 M). Pendiri Masjid Agung (pada masa itu disebut
sebagai Masjid Sulton) itu adalah kakek Sultan Muhammad Bahauddin.
Bangunan ini menggunakan bahan batu dan semen (batu kapur serta bubuk
tumbukan kulit kerang). Konon, sebagai bahan penguat tambahan, digunakan
pula putih telur dan rebusan tulang serta kulit sapi dan kerbau.
Benteng berbentuk persegi empat dengan ukuran panjang 290 meter, lebar
180 meter, dan tinggi 6,60 meter-7,20 meter. Di keempat sudutnya,
terdapat empat bastion (buluarti) untuk menempatkan meriam. Meriamyang
terdapat di keempat sudut benteng inilah yang dipakai untuk menghalau
tentara dan menghancurkan armada Belanda pada Perang Palembang I tahun
1819 (Perang Menteng) dan Perang Palembang II tahun 1819. Sesuai dengan
posisinya yang dikelilingi sungai, BKB memiliki pintu empat pintu.
Yaitu, pintu utama yang menghadap Sungai Musi dan tiga pintu lain, yang
masing-masing menghadap Sungai Tengkuruk, Sungai Kapuran, dan Sungai
Sekanak.
Masjid Agung
Lokasi : Pusat Kota


Mahmud Badaruddin I (Jayo Wikramo)
meletakan batu pertama pendiri Mesjid Agung pada 1 Jumadil Akhir 1151 H
(=1738 M). Bangunan ini berdiri dibelakang Kuto besak, Istana Sultan
yang dulunya terletak disuatu Pulau yang dikelilingi oleh Sungai Musi,
Sungai Sekanak, Sungai Tengkuruk, dan Sungai Kapuran Bangunan Masjid
Pertama kali berukuran hampir berbentuk Persegi empat yaitu 30 x 36 m.
Keempat sisi bangunan ini terdapat empat penampilan yang berfungsi
sebagai pintu masuk, kecuali dibagian barat yang merupakan mihrab.
Atapnya berbentuk atap tumpung, terdiri dari tiga tingkat yang
melambangkan filosofi keagamaan, atap berundak adalah pengaruh dari
candi. Bahan-bahan yang dupergunakan adalah bahan kelas satu eks impor
dari Eropa. arsitek Masjid orang sedangkan tenaga tehnis dilapangan
adalah orang-orang china. sulitnya mendatangkan material bangunan, maka
pekerjaan ini cukup lama dan Masjid Baru dapat di resmikan pada Tanggal
28 Jumadil awal 1161 H atau 26 Mei 1748 M. Pada awalnya Masjid ini tidak
mempunyai menara, barulah pada Tahun 1753 di buat menara yang beratap
genteng dan tahun 1821 ber ganti atap sirap dan penambahan tinggi menara
yang dilengkapi dengan beranda lingkar. Setelah 100 tahun lebih
berdirinya masjid yaitu tahun 1848 diadakan rencana perluasan oleh
Pemerintah Kolonial sebelum perluasan diadakan perubahan bentuk gerbang
serambi masuk dari bentuk tradisional menjadi bentuk Doric. Pada tahun
1879 telah diadakan perunbahan masjid, perluasan bentuk gerbang serambi
masuk di bongkar ditambanh serambi yang terbuka dengan tiang benton
bulat sehingga bentuknya seperti Pendopo atau seperti gaya banguan
kolonial ini adalah perluasan pertama dan penambahan rancangan dan tahun
1874 dilaporan bentuk menara beruba dari aslinya dan tahun 1916 menara
ini disempurnakan lagi. Pada tahun 1930 diadakan perubahan yaitu
menambah jarak pilar menjadi 4 m dari atap. sSetelah kemerdekaan tahun
1952 dilakukan perluasan ketiga dengan bentuk yang tidak lagi harmonis
dengan aslinya dengan ditambah kubah. pengurus yayasan masjid agung 1966
-1979 meneruskan penambahan ruangan dengan menambah bangunan lantai 2
yang selesai tahun 1969. Pada tanggal 22 januari 1970 dimulai Pembanguan
menara baru dengan tinggi 45 meter, bersegi 12 yang dibiayai Pertamina
dan di resmikan pada Tanggal 1 Februari 1971. Sejak tahun 2000 Masjid
ini di renovasi dan selesai pada tanggal 16 Juni 2003 yang diresmikan
oleh Presiden RI Hj. Megawati Soekarno Putri, Masjid ini terletak di
Pusat Kota Palembang.
Museum SMB II
Lokasi : Samping Jembatan Ampera di bagian Ilir
Keraton Kuto Kecik atau Keraton Kuto
Lamo, dibangun seiring dengan pembangunan Masjid Agung Palembang. Saat
kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam dipegang Sultan Mahmud
Badaruddin Jayo Wikramo atau SMB I (1724-1758 M), muncul ide untuk
membangun masjid baru Sebelumnya, Keraton Palembang yang dibangun Ki Mas
Hindi atau Sultan Abdurrahman Khalifatul Mukmin Sayyidul Imam
(1659-1706 M) terletak di kawasan Beringin Janggut (kini kompleks
pertokoan Beringin Janggut). Masjid kesultanan pun terletak tidak jauh
dari keraton, yaitu di kawasan yang kini dikenal sebagai Jl. Masjid
Lama. SMB I membangun Masjid Sulton (kini Masjid Agung SMB II) pada 1
Jumadil Akhir 1511 H dan diresmikan pemakaiannya pada 28 Jumadil Awal
1161 H. Keraton Kuto Lamo (pada saat dibangun, tentu belum bernama
demikian) ini dibangun persis di tepi Sungai Tengkuruk dan berjarak
sekitar 100 meter dari Masjid Sulton. Pada masa pemerintahan Sultan
Mahmud Badaruddin II (1803-1821 M), yang berganti-ganti kekuasaan dengan
saudaranya, Sultan Husin Diauddin (1812-1813 M) serta Sultan Ahmad
Najamuddin III Pangeran Ratu (putra SMB II, 1819-1821 M) seiring
masuknya pengaruh Belanda dan Inggris, benteng ini sempat ditempati
pasukan Belanda. Menjelang Perang Palembang I tahun 1819, Pemerintah
Hindia Belanda mendaratkan pasukannya sebanyak 200 orang di Palembang
dan menempatkannya di Keraton Kuto Lamo. Saat perang hari pertama
meletus, 11 Juni 1819, tentara Belanda itu ditembaki dan dihalau hingga
lari ke kapal-kapal yang berada di Sungai Musi depan BKB. Pada perang
ini, dari sekitar 500 tentara Belanda, yang tersisa dan selamat sekitar
350 orang. Begitu SMB II menyerah dan ditangkap pada Perang Palembang
III tahun 1821 sehingga bersama keluarganya, dia dibuang ke Ternate,
pasukan Belanda melakukan perampasan, perusakan, pembongkaran dan
penghancuran terhadap aset kesultanan. Termasuk, bangunan yang ada di
Benteng Kuto Lamo. Bahkan, pembongkaran yang dilakukan terhadap rumah
limas para Pangeran serta bangunan lain hingga ke halaman Masjid Sulton
itu, dilakukan pula terhadap fondasi Keraton hingga sedalam 3 meter.
Pada tahun 1823, seiring penghapusan kekuasaan Sultan Najamuddin IV
Prabu Anom (1821-1823 M), Belanda mulai melakukan pembangunan di bekas
tapak Benteng Kuto Lamo secara bertahap. Rumah yang dibangun ini
rencananya diperuntukkan bagi Komisaris Kerajaan Belanda di Palembang.
Yaitu, Yohan Isaac van Sevenhoven, seorang advokat fiskal, yang
menggantikan posisi Herman Warner Muntinghe. Muntinghe menjadi Komisaris
di Palembang selama November 1821-Desember 1823. Pada tahun 1824, tahap
pertama rumah dikenal sebagai Gedung Siput itu selesai dibangun.
Setelah itu, bagian bangunan terus dilakukan penambahan.
Jembatan Ampera
Lokasi : Di atas Sungai Musi


Ide untuk menyatukan dua daratan di Kota
Palembang ” Seberang Ulu dan Seberang Ilir ” dengan jembatan, sebetulnya
sudah ada sejak zaman Gemeente Palembang, tahun 1906. Saat jabatan
Walikota Palembang dijabat Le Cocq de Ville, tahun 1924, ide ini kembali
mencuat dan dilakukan banyak usaha untuk merealisasikannya. Namun,
sampai masa jabatan Le Cocq berakhir, bahkan ketika Belanda hengkang
dari Indonesia, proyek itu tidak pernah terealisasi. Pada masa
kemerdekaan, gagasan itu kembali mencuat. DPRD Peralihan Kota Besar
Palembang kembali mengusulkan pembangunan jembatan kala itu, disebut
Jembatan Musi dengan merujuk na-ma Sungai Musi yang dilintasinya pada
sidang pleno yang berlangsung pada 29 Oktober 1956. Usulan ini
sebetulnya tergo-long nekat sebab anggaran yang ada di Kota Palembang
yang akan dijadikan modal awal? hanya sekitar Rp 30.000,00. Pada tahun
1957, dibentuk panitia pembangunan, yang terdiri atas Penguasa Perang
Komando Daerah Militer IV/Sriwijaya, Harun Sohar, dan Gubernur Sumatera
Selatan, H.A. Bastari. Pendampingnya, Walikota Palembang, M. Ali Amin,
dan Indra Caya. Tim ini melakukan pendekatan kepada Bung Karno agar
mendukung rencana itu. Usaha yang dilakukan Pemerintah Provinsi Sumatera
Selatan dan Kota Palembang, yang didukung penuh oleh Kodam IV/Sriwijaya
ini kemudian membuahkan hasil. Bung Karno kemudian menyetujui usulan
pembangunan itu. Karena jembatan ini rencananya dibangun dengan
masing-masing kakinya di kawasan 7 Ulu dan 16 Ilir, yang berarti
posisinya di pusat kota, Bung Karno kemudian mengajukan syarat. Yaitu,
penempatan boulevard atau taman terbuka di kedua ujung jembatan itu.
Dilakukanlah penunjukan perusahaan pelaksana pembangunan, dengan
penandatanganan kontrak pada 14 Desember 1961, dengan biaya sebesar USD
4.500.000 (kurs saat itu, USD 1 = Rp 200,00). Biaya ini akan dihitung
dari pampasan (kompensasi) perang Jepang. Proyek Musi hingga akhir tahun
1970-an, warga Palembang menyebut Jembatan Ampera sebagai Proyek
Musi?ini mulai dibangun April 1962 dan selesai pada Mei 1965. Jembatan
dengan konstruksi baja yang diperkuat kawat baja itu, memiliki panjang
1.100 meter dengan lebar 22 meter. Keenam kakinya, dipancang sedalam 75
meter. Bagian atasnya, terdapat dua menara setinggi 75 meter dengan
jarak bentang antar-menara 71,5 meter. Ketinggian bentang jembatan dari
air 11,5 meter saat air surut dan 8 meter saat pasang naik itu dapat
diangkat ketika akan dilalui kapal. Saat bentang diangkat, ketinggiannya
dari air mencapai 63 meter. Kapal yang dapat melaluinya berukuran
tinggi 9 meter-44,5 meter dan lebar 60 meter. Untuk mengangkat bentang
jembatan seberat 994 ton ini, ditempatkanlah bandul yang masing-masing
seberat 450 ton di kedua menara. Kecepatan angkatnya mencapai 10 meter
per detik.
Masjid Lawang Kidul
Lokasi : Di tepian Sungai Musi

Masjid Lawang Kidul adalah salah satu
masjid tua di Kota Palembang. Masjid ini terletak di tepian Sungai Musi
di semacam tanjung yang terbentuk oleh pertemuannya dengan muara Sungai
Lawangkidul, di kawasan Kelurahan Lawangkidul, Kecamatan Ilir Timur II.
Rumah ibadah ini dibangun dan diwakafkan ulama Palembang kharismatik,
Ki. Mgs. H. Abdul Hamid bin Mgs. H. Mahmud alias K. Anang pada tahun
1310 H (1890 M). Ulama ini lebih dikenal sebagai Kiai Merogan. Panggilan
itu merujuk pada tempat tinggal dan aktivitasnya yang banyak di kawasan
muara Sungai Ogan (salah satu anak Sungai Musi) di kawasan Seberang
Ulu. Ayahnya adalah seorang ulama dan pedagang yang sukses. Kiai Merogan
dilahirkan pada tahun 1811 M dan wafat pada 31 Oktober 1901. Ulama ini
dimakamkan di areal Masjid Ki Merogan, salah satu masjid yang dibangun
selama syiar Islamnya. Selama berdakwah sebelumnya, dia menetap di
Mekkah, Saudi Arabia, tetapi mendapat bisikan untuk kembali ke kampung
halaman bersama murid-muridnya, Kiai Merogan menggunakan perahu hingga
ke daerah pelosok di Sumatera Selatan. Karena itu pula, selain Masjid
Lawang Kidul dan Masjid Kiai Merogan di Palembang serta tiga pemondokan
jemaah haji di Saudi Arabia, Kiai Merogan masih memiliki peninggalan
berupa masjid di Dusun Pedu Pemulutan OKI, dan masjid di Dusun Ulak
Kerbau Lama Pegagan Ilir (OKI). Sayang, kebakaran hebat pernah
menghanguskan Kampung Karangberahi pada antara tahun 1964-1965.
Kebakaran ini juga, diduga menghanguskan peninggalan berupa karya tulis
Kiai Merogan, yang makamnya dikeramatkan hingga kini dan dipercaya
membawa berkah bagi para peziarah yang memanjatkan doa di makam itu.
Sebagai salah satu warisannya, Masjid Lawang Kidul hingga kini masih
menampakkan kekukuhan dan kemegahan perkembangan Islam di kota ini.
Hingga sekarang, masjid yang bangunan induknya memiliki luas lantai
lebih kurang 20 X 20 meter itu, sebagian besar masih asli. Namun,
terdapat bangunan tambahan sehingga luasnya saat ini menjadi 40 X 41
meter. Pemugaran dilaksanakan pada 1983-1987 lalu. Meskipun sebagian
besar materialnya asli, ada beberapa bagian yang terpaksa diganti.
Bagian yang diganti itu, terutama bagian atapnya yang semula genting
belah bambu. Karena genting jenis itu tidak ada lagi, diganti dengan
genting kodok. Konon, material bangunan itu terdiri atas campuran kapur,
telur, dan pasir. Sedangkan bahan kayunya tiang, pintu, atap, dan
bagian penunjang lainnya? terbuat dari kayu unglen. Interior mesjid,
juga masih menampakkan keaslian. Empat saka guru memilik ketinggian
delapan meter dengan 12 pilar pendamping setinggi lebih kurang enam
meter. Kesemua tiang bersudut delapan. Empat alang (penyangga) atap
sepanjang 20 meter juga terbuat dari unglen tanpa sambungan.
Masjid Al-Mahmudiyah (Masjid Suro)
Lokasi : Kecamatan Ilir Barat II
Terletak di Kelurahan 30 Ilir Kecamatan
Ilir Barat II wilayah Suro, Olah Karena itu masjid tersebut dinamakan
masyarakat sekitar lingkungan itu Masjid suro yang sekarang sejak tahun
2001 atas kesepakatan pengurus berganti nama Al Muhmadiyah. masjid ini
dibangun oleh alm Ki. H.Abdurrahman Dalamat pada tahun 1310 H ( 1889 M).
Tiang penyangga masjid ini terbuat dari Kayu bulat tinggi dan lebar
yang sampai saat ini sampai saat ini masih tetap kokoh masjid yang
dibangun dengan gotong royong karena tidak ada biaya. Konon menurut
cerita Ki. H. Abdurrahman Dalamat Sholat tahajut dan berdo’a meminta
rizki dan pada kenyataannya setelah selesai berdo’a telah ada uang di
bawah sejadah, uang tersebut dipergunakan oleh beliau untuk pembangunan
masjid ini.
Kampung Kapitan
Lokasi : Kawasan 7 Ulu
NAMA Kapitan identik dengan sebuah
perkampungan seluas lebih kurang 20 ha di kawasan Kelurahan 7 Ulu,
Kecamatan Seberang Ulu I, Palembang. Nama ini menjadi semacam penanda
bagi keberadaan komunitas marga Tionghoa yang berdiam di kampung itu.
Pembatas kampung, mulai dari tepi Sungai Musi di utara hingga ke tepian
Jl K.H.A. Azhary di bagian selatannya. Bagian barat berbatasan dengan
Sungai Kelenteng ?kini sudah ?mati??dan timur dengan Sungai Kedemangan.
Jalan masuk ke Kampung Kapitan, demikian masyarakat Palembang
menyebutnya, sepanjang lebih kurang 50 meter. Saat memasuki kawasan
utama kampung ini, orang melewati semacam gerbang yang sesungguhnya
merupakan penghubung antara Rumah Kapitan dan Rumah Abu, yang merupakan
?simbol? kampung ini. Sebutan Rumah Abu ini, setelah berakhirnya masa
Kapitan Cina terakhir, Kapitan Tjoa Ham Hin. Dia menggantikan kedudukan
ayahnya, Mayor Tjoa Tjie Kuan. Rumah Kapitan berukuran asli 22 X 25
meter. Keturunan Kapitan, yang menjadi ahli waris rumah itu, membuat
bangunan tambahan di bagian belakang sehingga ukuran panjangnya menjadi
50 meter. Di ruang utama, terdapat meja sembahyang, yang ditempatkan
beberapa pedupaan (tempat hio), dan patung para Toa Pe Kong. Salah
satunya, Toa Pe Kong Sie, yang merupakan leluhur keluarga Tjoa. Leluhur
Kapitan Tjoa, menurut semacam buku harian milik keluarga ini, adalah Sie
Te, yang datang ke Palembang pada masa peralihan Kerajaan Sriwijaya dan
Kesultanan Palembang Darussalam, yaitu antara abad XVI-XVIII.
Masjid Kiai Merogan
Lokasi : Kawasan Tepian Sungai Musi
Masjid ini dibangun lebih dahulu daripada
Masjid Lang Kidul. Pada masa lalu, daerah tempat berdirinya masjid
dengan atap bertumpang dua dan puncak mustaka -?sama dengan Masjid
Lawang Kidul?ini bernama Kampung Karang Berahi. Apakah memang karakter
lokasi masjid pada zaman itu ataukah memang kekhasan Kiai Merogan,
masjid ini terletak di muara Sungai Ogan ke Sungai Musi. Jika diamati,
posisinya yang demikian, juga ketinggian tanah yang lebih dibanding
lahan sekitarnya itu sama persis dengan Masjid Lawang Kidul. Letaknya
sekitar 13 meter dari Sungai Musi dan 75 meter sebelah selatan Sungai
Ogan. Penamaannya diambil dari nama julukan bagi ulama besar Palembang
yang bernama lengkap Kiai Haji Masagus Abdul Hamid bin Mahmud. Ukuran
asli masjid ini ?sebelum dilakukan renovasi dan perluasan?adalah 18,8 m X
19,4 m. Sama seperti Masjid Lawang Kidul dan Masjid Sungai Lumpur,
bangunannya disangga empat saka guru berbentuk persegi delapan berukuran
0,3 X 0,27 m. Tingginya mencapai 5 meter. Saka guru dikelilingi dua
belas tiang penunjang setinggi 4,2 meter dan besar 0,25 m x 0,25 m.
Bagian-bagian masjid sebagian besar masih asli. Antara lain, saka guru
dan 12 tiang penunjangnya, rangka bangunan atap, langit-langit, dan
kuda-kuda. Mimbar khas masjid ini juga masih menampakkan keaslian, baik
bahan maupun hiasannya. Di samping itu, beduk yang digunakan hingga
sekarang ?berukuran panjang 2,5 m dan berdiameter 0,8 meter. Meskipun
terletak di tanah yang lebih tinggi dibandingkan lahan sekitarnya,
menurut keterangan masyarakat dan keluarga sang ulama, lahan masjid ini
awalnya adalah lebak. Kemudian, saat masjid didirkan, dilakukan
penimbunan hingga tanahnya mengeras. Sedangkan makam Kiai Merogan (wafat
tahun 1882 M), terletak di sebelah kanan masjid. Makam dengan ukuran
1,75 meter dan lebar 0,82 meter ini, sampai sekarang masih sering
dikunjungi peziarah.
Kantor Ledeng
Lokasi : Kawasan 22 Ilir
Pembangunan Menara Air, yaitu instalasi
pengolahan air bersih pada masa Walikota Palembang dijabat Ir.
R.C.A.F.J. Le Cocq d?Armandville dapat dikatakan sungguh luar biasa.
Pasalnya, saat itu keuangan Haminte (Gemeente) Palembang sedang dalam
kondisi yang sangat buruk. Ketika tercetus ide untuk membangun Menara
Air ?akhirnya dikenal sebagai Kantor Ledeng?pada tahun 1928, utang
Haminta Palembang sudah menumpuk. Untuk pajak jalan dan jembatan saja,
mencapai 3,5 ton emas, Ini belum lagi keterpurukan akibat parahnya
sistem administrasi. Setahun kemudian, 1929, setelah pembuatan master
plan kotyaoleh Ir. Th. Karsten, dibangunlah sarana air bersih. Selain
bangunan berupa menara ?saat ini, pendidtribusiannya dikenal sebagai
sistem gravitasi?setinggi 35 meter dan luas bangunan 250 meter persegi.
Bak tampungnya berkapasitas 1.200 meter kubik. Arsitek yang menangani
pembangunan gedung ?juga dimanfaatkan sebagai Kantor Haminte dan Dewan
Kota?ini adalah Ir. S. Snuijf. Dipilihlah lokasi gedung di tepi Sungai
Kapuran dan Sungai Sekanak. Sehingga pada masa itu, posisi Kantor Ledeng
tepat di tepian air. Namun kemudian, seiring dengan pembangunan
jembatan yang melintasi Sungai Sekanak, Sungai Kapuran pun ditimbun.
Akibatnya dapat diduga. Jalan yang melintas di depan Kantor Ledeng itu
pun mengalami banjir saat musim hujan disertai pasang naik Sungai Musi.
Ini terlihat pada sebuah foto yang berangka tahun 1930-an. Pada saat
Kemerdekaan RI diproklamasikan, 17 Agustus 1945, Kantor Ledeng menjadi
saksi heroisme pemuda di Palembang. Para pejuang yang terdiri atas bekas
opsir Gyu Gun, yaitu Hasan Kasim, M. Arief, Dany Effendy, Raden
Abdullah (Cek Syeh), Rivai, dan mantan opsir Gyu Gun lainnya, bekerja
sama dengan kelompok pemuda yang dipimpin Mailan beserta pembantunya,
Abihasan Said dan Bujang Yacob. Mereka mengibarkan bendera kebangsaan di
empat sisi atas Kantor Ledeng.
Monpera
Lokasi : Kawasan di depan Masjid Agung
Bangunan ini terletak di Pusat Kota
tepatnya Masjid Agung. Lokasi tersebut dulunya basis pertempuran Lima
Hari Lima malam. Peletakan Batu Pertama dan pemancangan tiang bangunan
pada Tanggal 17 Agustus 1975 dan diresmikan pada tanggal 23 Februari
1988 oleh Menko Kesra Alamsyah ratu Perwira Negara Monumen ini dibangun
untuk mengenang perjuangan rakyat Sumatera Selatan ketika melawan kaum
penjajah pada masa revolusi fisik yang di kenak dengan pertempuran Lima
hari Lima Malam di Palembang melawan Belanda. Di dalam Museum ini kita
dapat berbagai jenis senjata yang dipergunakan dalam pertempuran
tersebut termasuk berbagai dokumen perang dan bebda-benda bersejarah
lainnya.
Museum Bala Putra Dewa
Lokasi : Km 6
Museum ini dibangun pada tahun 1977
dengan arsitektur tradisional Palembang di atas areal seluas 23.565
meter persegi dan diresmikan pada tanggal 5 Nopember 1984. Pada mulanya
museum ini bernama museum Negeri Propinsi sumatera Selatan, selanjutnya
berdasarkan SK. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 1223/1990
tanggal 4 April 1990, Museum ini diberi nama Museum Negeri Propinsi
Sumatera Selatan ” Bala Putra Dewa” Nama Bala Putra Dewa berasal nama
seorang raja Sriwijaya yang memerintah pada abad VIII-IX yang mencapai
kerajaan maritime. Di Museum ini terdapat koleksi yang menggambarkan
corak ragam kebudayaan dan alam sumatera Selatan. koleksinya terdiri
dari berbagai benda histografi, etnografi, felologi, keramik, teknologi
modern, seni rupa, flora dan fauna serta geologi. Selain itu terdapat
rumah limas dan rumah Ulu asli, kita dapat melihat dengan menggunakan
kendaraan umum trayek km12.
Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya (TPKS)
Lokasi : Kawasan Tangga Buntung
Taman ini di bangun di atas arkeologi
Karang anyar yang didasari konsep-konsep pelestarian dan pemanfaatan
peninggalan purbakala. PeresmianTPKS dilakukan oleh Presiden Soeharto
pada tanggal 22 Desember 1994. Ditandai dengan peletakan kembali replika
kedukan Bukit yang merupakan tonggak sejarah lahirnya kerajaan
sriwijaya. Berdasarkan interprestasi foto udara situs Karang Anyar
merupakan bangunan air yang penting pada masa awal kerajaan Sriwijaya
dan ditemukan juga sisa-sisa bangunan bata, fragmen-fragmen, gerabag,
keramik, sisa perahu dan benda-benda sejarah lainnya. Di dalam lokasi
taman ini terdapat tiga gedung utama yaitu gedung museum yang menyimpan
arkeologi peninggalan sriwijaya dan Perahunya. Dalam perkembangan
sejarah kuno indonesia meliputi kurun waktu ke 7 – 13 M. Gedung Pendopo
Agung untuk keperluan pameran-pameran, temporer, seminar dan lain-lain.
Dana Gedung prasasti yang menyimpan replika prasasti kedukan Bukit serta
Prasasti peresmian TPKS. Disamping itu di pulau Gempaka terdapat
Disflag berupa struktur bata hasil eksavasi. dalam Lingkungan taman ini
juga terdapat kanal-kanal



